TEMBANG MACAPAT
A. PENGERTIAN
Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu. Dalam masyarakat Jawa, macapat ini merupakan salah satu pedoman hidup yang melekat dalam tembang serta seni budaya lainnya. Macapat berisi tentang seluk beluk periodesasi kehidupan manusia di dunia dan akhirat kelak. Secara lengkap, berikut merupakan makna dan pelajaran hidup yang terkandung dalam tembang macapat :
B.JENIS JENIS TEMBANG MACAPAT
1. MIJIL
Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga, namun harus netepi titah Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaran mantra tanpa tinulis. Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.
2. MASKUMAMBANG
Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak terperi. Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.
3. KINANTHI
Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta, orang tua selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya. Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih suami istri. Buah hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi(diarahkan dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.
4. SINOM
Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan dan dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda) hidupnya sering salah kaprah.
5. DHANDANGGULA
Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana. Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi anak baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia. Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat sikapnya menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa merasa rugi bila tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta, yang penting hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi diri sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit, sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung langsung sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada. Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya.
6. ASMARADANA
Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin hidup lantaran gema asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar semangat hidupnya, yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru. Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sang gurulaku, yang sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka berpangku namun pandailah memanfaatkan waktu. Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradanaadalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang bermutu, atau polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.
7. GAMBUH
Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus berlari tanpa henti. Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada yang kurang, menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunandan kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu menjadi mati.
8. DURMA
Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan suku kata dur/ dura (nglengkara) yang mewakili makna negatif (awon). Sebut saja misalnya : duraatmoko, duroko, dursila, dura sengkara, duracara(bicara buruk), durajaya, dursahasya, durmala, durniti, durta, durtama, udur, dst. Tembang Durma, diciptakan untuk mengingatkan sekaligus menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.
9. PANGKUR
Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak berguna. Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa. Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji. Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi bathang..!!
10. MEGATRUH
Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang disesali. Sudah terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini menyembah tuhan penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati. Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi begini, kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali diri ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa, sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga, telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini manusia baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakanya ia merasa paling pintar, namun segala keburukannya dianggapnya demi membela diri. Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!
11. POCUNG
Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang baik kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali. Kehidupan baru setelah raganya mati.
Tak terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus dengan kain kafan. Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di sana-di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini, merasa heran kenapa sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi. Ketemunya para kadhang yang telah lama nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.
Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana harus pergi, toleh kanan dan kiri semua bikin gelisah hati. Seram mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang kebaikan dan keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh kapir belum tentu kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan. Malah-malah yang suka menuduh menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina. Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili. Yang ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan suka menghakimi orang lain yang tak sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu tidak nyasar menjadi memedi.
C. Tabel macapat
Supaya lebih mudah membedakan antara guru gatra, guru wilanganlan guru lagu dari tembang-tembang tadi, maka tiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini :
Metrum | Gatra | I | II | III | IV | V | VI | VII | VIII | IX | X |
Dhandhanggula | 10 | 10i | 10a | 8é | 7u | 9i | 7a | 6u | 8a | 12i | 7a |
Maskumambang | 4 | 12i | 6a | 8i | 8a | – | – | – | – | – | – |
Sinom | 9 | 8a | 8i | 8a | 8i | 7i | 8u | 7a | 8i | 12a | – |
Kinanthi | 6 | 8u | 8i | 8a | 8i | 8a | 8i | – | – | – | – |
Asmarandana | 7 | 8i | 8i | 8é | 8a | 7a | 8u | 8a | – | – | – |
Durma | 7 | 12a | 7i | 6a | 7a | 8i | 5a | 7i | – | – | – |
Pangkur | 7 | 8a | 11i | 8u | 7a | 12u | 8a | 8i | – | – | – |
Mijil | 6 | 10i | 6o | 10é | 10i | 6i | 6u | – | – | – | – |
Pocung | 4 | 12u | 6a | 8i | 12a | – | – | – | – | – | – |
Gambuh | 5 | 7u | 10u | 12i | 8u | 8o | – | – | – | – | – |
Megatruh | 5 | 12u | 8i | 8u | 8i | 8o | – | – | – | – | – |
Contoh penggunaan metrum macapat
Contoh-contoh penggunaan metrum macapat beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dijelaskan pula tokoh penciptanya menurut legenda dan watak setiap metrum
1. Dhandhanggula
Dhandhanggula adalah sebuah metrum yang berwatak watak luwes/fleksibel. Metrum ini atribusikan kepada Sunan Kalijaga.
Contoh (Serat Jayalengkara):
Bahasa Jawa | Bahasa Indonesia |
Prajêng Medhang Kamulan winarni, | Diceritakan mengenai kerajaan Medhang Kamulan, |
narèndrâdi Sri Jayalengkara, | ketika sang raja agung Sri Jayalengkara |
kang jumeneng nerpatiné, | yang bertahta sebagai raja |
ambek santa budi alus, | memiliki pikiran tenang dan berbudi halus |
nata dibya putus ing niti, | raja utama pandai dalam ilmu politik |
asih ing wadya tantra, | mengasihi para bala tentara |
paramartêng wadu, | sayang terhadap para wanita |
widagdêng mring kasudiran, | teguh terhadap jiwa kepahlawanan |
sida sedya putus ing agal lan alit, | berhasil dalam berkarya secara lahiriah maupun batiniah |
tan kènger ing aksara. | tidak terpengaruh sihir. |
2. Maskumambang
Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis
Sambaté mlas arsa
Luhnya marawayan mili
Gung tinamêng astanira
Sambaté mlas arsa
Luhnya marawayan mili
Gung tinamêng astanira
3. Sinom
Pangéran Panggung saksana
Anyangking daluwang mangsi
Dènira manjing dahana
Alungguh sajroning geni
Èca sarwi nenulis
Ing jero pawaka murub
Anyangking daluwang mangsi
Dènira manjing dahana
Alungguh sajroning geni
Èca sarwi nenulis
Ing jero pawaka murub
4. Asmaradana
Aja turu soré kaki
Ana Déwa nganglang jagad
Nyangking bokor kencanané
Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan
Yaiku bagéyanipun
Wong melek sabar narima
Ana Déwa nganglang jagad
Nyangking bokor kencanané
Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan
Yaiku bagéyanipun
Wong melek sabar narima
5. Kinanthi
Metrum Kinanthi ini memiliki watak gandrung dan piwulang. Metrum ini konon diciptakan oleh Sultan Adi Erucakra.
Contoh (Serat Rama gubahan Yasadipura):
Anoman malumpat sampun,
Praptêng witing nagasari,
Mulat mangandhap katingal,
Wanodyâyu kuru aking,
Gelung rusak awor kisma,
Ingkang iga-iga kêksi.
Praptêng witing nagasari,
Mulat mangandhap katingal,
Wanodyâyu kuru aking,
Gelung rusak awor kisma,
Ingkang iga-iga kêksi.
6. Gambuh
Sekar gambuh ping catur,
Kang cinatur polah kang kalantur,
Tanpa tutur katula tula katali,
Kadaluwarsa katutuh,
Kapatuh pan dadi awon.
Kang cinatur polah kang kalantur,
Tanpa tutur katula tula katali,
Kadaluwarsa katutuh,
Kapatuh pan dadi awon.
7. Pangkur
Mingkar mingkuring angkara,
Akarana karenan mardi siwi,
Mangka nadyan tuwa pikun,
Yen tan mekani rasa,
Yekti sepi sepa lir asepa samun,
Samangsane pakumpulan,
Gonyak ganyuk nglelingsemi.
Akarana karenan mardi siwi,
Mangka nadyan tuwa pikun,
Yen tan mekani rasa,
Yekti sepi sepa lir asepa samun,
Samangsane pakumpulan,
Gonyak ganyuk nglelingsemi.
8. Durma
Damarwulan aja ngucireng ngayuda
Baliya sun anteni
Mangsa sun mundura
Lah Bisma den prayitna
Katiban pusaka mami
Mara tibakna
Curiganira nuli (Langendriyan)
Baliya sun anteni
Mangsa sun mundura
Lah Bisma den prayitna
Katiban pusaka mami
Mara tibakna
Curiganira nuli (Langendriyan)
9. Mijil
Jalak uren mawurahan sami
Samadya andon woh
Amuwuhi malad wiyadine
Ana manuk mamatuk sasari
Angsoka sulastri
Ruru karya gandrung
Samadya andon woh
Amuwuhi malad wiyadine
Ana manuk mamatuk sasari
Angsoka sulastri
Ruru karya gandrung
(Haji Pamasa, Ranggawarsita)
10. Megatruh
Sigra milir kang gèthèk sinangga bajul
Kawan dasa kang njagèni
Ing ngarsa miwah ing pungkur
Tanapi ing kanan kéring
Kang gèthèk lampahnya alon
Kawan dasa kang njagèni
Ing ngarsa miwah ing pungkur
Tanapi ing kanan kéring
Kang gèthèk lampahnya alon
(Babad Tanah Jawi, Yasadipura)
11. Pucung
Pucung adalah salah satu dari 12 puisi jawa (tembang macapat) yang sangat sederhana. Pucung biasa disebut juga dengan pocung. Pucung adalah tetembangan yang digunakan untuk mengingat pada kematian, karena dekat dengan kata pocong yaitu pembungkusan mayat saat akan dikubur. Selain itu, pucung juga berarti woh-wohan (buah-buahan) yang memberikan kesegaran. Kata “cung” sendiri mengingatkan pada kuncung yang lucu. Oleh sebab itu perkembangan dari tembang ini merujuk kepada hal-hal lucu atau parikan atau bedhekan (tebakan).
Pucung sendiri memiliki watak kendur, tanpa adanya klimaks dan tujuan dalam cerita. Dalam membuat pucung tidak boleh asal-asalan karena ada aturannya.
Berikut aturan dari tembang pucung.
Guru gatra = 4
Artinya tembang ini memiliki 4 larik kalimat.
Artinya tembang ini memiliki 4 larik kalimat.
Guru wilangan = 12, 6, 8, 12
Maksudnya tiap kalimat harus bersuku kata seperti diatas. Kalimat pertama 12 suku kata. Kalimat kedua 6 suku kata. Kalimat ketiga 8 suku kata. Kalimat keempat 12 suku kata.
Guru lagu = u, a, i, a
Akhir suku kata dari setiap kalimat harus bervokal u, a, i, a
Akhir suku kata dari setiap kalimat harus bervokal u, a, i, a
Berikut ini adalah contoh tembang pucung.
Ngelmu iku kelakone kanthi laku –> u
Lekase lawan kas –> a
Tegese kas nyantosani –> i
Setya budya pengekesing dur angkara –> a'
Lekase lawan kas –> a
Tegese kas nyantosani –> i
Setya budya pengekesing dur angkara –> a'
Sumber : ~https://davidadinugroho.wordpress.com/2015/03/27/makna-semua-tembang- macapat-dalam-bahasa-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar